RADARNALAR.SITE, Keterlibatan Amerika Serikat dalam pertikaian Israel dan Iran makin memicu kekhawatiran bahwa Teheran akan berupaya memblokir Selat Hormuz. AS meminta China, pembeli minyak Iran terbesar, untuk mencegah Iran menutup jalur perdagangan minyak vital itu.
Seperti diketahui, Presiden AS Donald Trump menyatakan pihaknya "berhasil" memusnahkan tiga fasilitas nuklir Iran pada Sabtu (21/06) petang.
Pada Minggu (22/06), Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio meminta China, yang memiliki hubungan erat dengan Teheran, untuk mencegah Iran menutup Selat Hormuz.
"Saya mendorong pemerintah China di Beijing untuk menghubungi mereka [Iran]," kata Rubio dalam wawancara dengan Fox News.
"Mereka sangat bergantung pada Selat Hormuz untuk pasokan minyak."
Pernyataan Rubio muncul setelah stasiun televisi pemerintah Iran, Press TV, melaporkan bahwa parlemen Iran menyetujui rencana untuk menutup Selat Hormuz.
Meski begitu, Press TV menambahkan bahwa keputusan akhir blokade Selat Hormuz berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi.
"Jika mereka [menutup Selat Hormuz]... itu akan menjadi bunuh diri ekonomi bagi mereka [Iran]. Kami [AS] punya opsi untuk menghadapinya, tetapi negara-negara lain juga harus mempertimbangkan situasi ini. [Penutupan Selat Hormuz] akan lebih merugikan ekonomi negara lain daripada ekonomi kami," tegas Rubio.
Harga minyak melonjak setelah serangan AS terhadap situs nuklir Iran. Harga minyak mentah Brent, patokan global, mencapai level tertingginya dalam lima bulan terakhir.
Setiap gangguan terhadap pasokan minyak akan memiliki konsekuensi mendalam bagi perekonomian global.
Seberapa besar pengaruh China dalam hal ini?
China merupakan konsumen terbesar minyak yang melintasi Selat Hormuz.
Menurut data dari perusahaan pelacakan kapal Vortexa, impor minyak China dari Iran melampaui 1,8 juta barel per hari pada bulan lalu. Sebagian besar minyak ini dijual Iran dengan harga di bawah harga pasar global.
Hubungan dagang ini ibarat jaring pengaman ekonomi yang membantu Teheran bertahan dari rentetan sanksi AS.
Sebagai pembeli utama minyak milik Iran, Beijing tidak menyambut baik kenaikan harga minyak atau gangguan dalam rute pengiriman logistiknya.
China diharapkan bisa menggunakan kekuatan diplomatiknya untuk mencegah penutupan jalur energi yang penting ini.
Anas Alhajji, mitra dari konsultan energi Outlook Advisors, menyampaikan pada CNBC, penutupan Selat Hormuz bisa merugikan sekutu Iran ketimbang musuh-musuhnya.
"Mereka [Iran] tidak mau melakukan sesuatu yang mampu merugikan mereka sendiri," ujar Alhajji.
Pendapat Alhajj didukung pakar energi lainnya, Vandana Hari, yang menilai kerugian Iran terlalu besar jika mereka menutup Selat Hormuz.
"Iran berisiko menjadikan tetangga produsen minyak dan gasnya di Teluk menjadi musuh," ujar Haris kepada BBC News.
Selain itu, Haris menilai Iran juga berpotensi mengundang kemarahan pasar utamanya, China, apabila lalu lintas di Selat Hormuz terganggu
Pada Senin (23/06), Beijing menyatakan serangan AS ke Iran merusak kredibilitas Washington dan menyerukan gencatan senjata secepat mungkin.
Dilansir CCTV, media yang dikelola pemerintah China, Duta Besar China untuk PBB, Fu Cong, mendesak semua pihak untuk menahan diri dan tidak "menyiram bensin ke api".
Dalam tajuk rencananya, surat kabar pemerintah Beijing, Global Times, menyebut keterlibatan AS di Iran "makin memperumit dan mengganggu stabilitas situasi Timur Tengah" dan mendorong situasi konflik menjadi "tidak terkendali."
Apa dampak serangan AS ke Iran sejauh ini?
Meski Presiden Trump menyatakan Washington telah "memusnahkan" situs-situs nuklir utama Teheran, belum jelas seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan serangan AS.
Badan pengawas nuklir PBB menyatakan tidak dapat menilai kerusakan di situs nuklir bawah tanah Fordo yang sangat dijaga ketat.
Sementara Iran menyatakan Fordo hanya mengalami kerusakan kecil.
Meski begitu, Trump memperingatkan serangan yang "jauh lebih buruk" jika Iran tidak menghentikan program nuklirnya.
Pada Senin (23/06), harga minyak sempat melonjak singkat saat perdagangan dibuka dengan Brent naik menjadi US$81,40 per barel. Namun, harga kemudian kembali turun ke sekitar US$78, naik 1,4% pada hari itu.
Saul Kavonic, kepala riset energi di MST Financial, menilai AS tengah bersiaga penuh untuk menghadapi serangan balasan. Dia memperingatkan bahwa situasi bisa memburuk drastis dan memengaruhi harga minyak.
Sekitar 20% minyak dunia melewati Selat Hormuz.
Produsen minyak dan gas utama di Timur Tengah menggunakan jalur air ini untuk mengangkut energi dari kawasan tersebut. Terganggunya operasi di Selat Hormuz dapat memicu lonjakan drastis harga minyak global.
Biaya minyak mentah memengaruhi segalanya, mulai dari berapa biaya mengisi bahan bakar kendaraan sehari-hari hingga harga makanan di supermarket.
Berapa banyak minyak yang melewati Selat Hormuz?
Awal tahun ini, Komandan Angkatan Laut Garda Revolusi, Alireza Tangsiri, mengemukakan kemampuan pihaknya.
"Kami punya kemampuan menutup Selat Hormuz," kata Alireza sebagaimana dikutip berbagai media.
Kekhawatiran soal penutupan selat tersebut bukan tanpa alasan.
Mantan kepala badan intelijen Inggris MI6, Sir Alex Younger, mengungkapkan kepada terkait risiko penutupan Selat Hormuz.
"Menutup Selat [Hormuz] jelas akan menjadi masalah ekonomi yang luar biasa mengingat dampaknya terhadap harga minyak."
Lembaga Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) memperkirakan sekitar 20 juta barel minyak melintasi Selat Hormuz per hari pada paruh pertama 2023.
Jumlah itu setara dengan perdagangan energi senilai hampir US$600 miliar per tahun yang diangkut melalui rute maritim.
Gangguan dalam bentuk apa pun di jalur laut dapat menyebabkan penundaan pengiriman minyak global secara signifikan, yang segera berdampak pada harga minyak.
Namun, para analis memperingatkan konsekuensi yang berpotensi lebih serius adalah peningkatan konflik antara Israel dan Iran.
Sebab, hal ini dapat menyeret negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat, ke dalam pertikaian karena mereka bergantung pada impor minyak dari negara-negara Teluk.
Seberapa sempit Selat Hormuz?
Selat Hormuz merupakan jalur perairan sempit yang terletak antara Iran dan Oman.
Jalur masuk dan keluarnya memiliki lebar sekitar 50 km, dan sekitar 40 km pada titik tersempitnya.
Kendati demikian, selat itu cukup dalam untuk dilalui kapal besar di bagian tengahnya.
Peta navigasi maritim menunjukkan jalur masuk yang aman, jalur keluar yang aman, dan zona penyangga di antara keduanya.
Semuanya khusus untuk kapal tanker besar pengangkut minyak.
Saat kapal-kapal tanker itu melalui Teluk Persia, posisi mereka akan berada di dekat pulau Greater dan Lesser Tunb—wilayah sengketa antara Iran dan negara-negara Arab.
Lalu lintas maritim itu akan sangat terganggu jika terjadi pertikaian militer. Ini pernah terjadi selama perang Iran-Irak antara 1980 hingga 1988.
Doktrin pertahanan?
Analis mengatakan bahwa bagi Iran, menutup Selat Hormuz merupakan bentuk "daya cegah"—mirip dengan kepemilikan senjata nuklir.
Artinya, pihak luar akan berpikir beberapa kali untuk bertikai dengan Iran karena Teheran mampu menutup Selat Hormuz—yang kemudian akan mengganggu perekonomian.
Karena itu, sejumlah negara menyatakan tidak bakal mengizinkan Teheran menggunakan posisi geografisnya yang strategis itu untuk menghambat aliran pasokan energi global.
Menurut para ahli, Iran mungkin memblokir selat untuk sementara waktu.
Akan tetapi, banyak yang juga yakin bahwa Amerika Serikat dan sekutunya dapat dengan cepat memulihkan arus lalu lintas maritim dengan memanfaatkan kekuatan militer.
Seberapa besar kemungkinan Iran menutup Selat Hormuz?
Sebuah laporan tahun 2012 oleh Layanan Penelitian Kongres AS menilai Iran bisa melakukan pendekatan bertahap.
Langkah-langkah itu meliputi:
- Mengumumkan larangan navigasi di Selat Hormuz, tanpa secara terang-terangan menyatakan konsekuensi dari pelanggaran atas larangan tersebut.
- Menyatakan bahwa kapal yang melintas berpotensi diperiksa atau bahkan disita.
- Tembakan peringatan pada kapal-kapal.
- Menargetkan kapal-kapal tertentu berkekuatan militer.
- Meletakkan ranjau laut di Selat dan Teluk Persia.
- Menggunakan kapal selam dan rudal untuk menargetkan kapal komersial dan militer.
Dalam perang Iran-Irak sebelumnya, Iran mengerahkan rudal Silkworm melawan kapal tanker minyak dan meletakkan ranjau laut di perairan Teluk.
Salah satu ranjau ini menghantam kapal USS Samuel B Roberts yang kemudian memicu aksi pembalasan militer AS.
Saat itu, Iran gagal total menutup Selat Hormuz, tetapi secara signifikan menaikkan premi asuransi pengiriman dan menciptakan kemacetan maritim yang mahal di jalur keluar Teluk.
Kemampuan militer Iran
Ia menggambarkan Teluk Persia dan sekelilingnya sebagai salah satu zona pertahanan Iran yang kritis.
Secara spesifik, ia menunjuk pada kapal-kapal peluncur rudal yang mampu menempuh perjalanan sejauh 10 km di bawah tiga menit.
Jenderal Salami menyampaikan kapal serang cepat, kapal tempur yang lebih berat, dan rudal akan diaktifkan dalam operasi pertahanan.
Ia juga menyoroti ranjau laut penghancur kapal sebagai salah satu senjata paling menentukan dalam perang di laut.
Salami juga mengatakan drone angkatan laut telah diperluas jangkauannya dan keragamannya.
Apa prediksi para pakar?
Para ahli memperkirakan cara Iran paling efektif untuk menghentikan sekitar 3.000 kapal yang berlayar tiap bulan melalui Selat Hormuz adalah dengan menebar ranjau menggunakan kapal serang cepat dan kapal selam.
Angkatan Laut Iran dan Angkatan Laut Korps Garda Revolusi Iran berpotensi menyerang kapal perang asing dan kapal komersial.
Akan tetapi, kapal militer besar tersebut bisa juga menjadi sasaran empuk serangan udara Israel dan AS.
Kapal cepat Iran kerap dilengkapi dengan rudal anti-kapal, dan negara itu juga mengoperasikan kapal reguler, kapal perang hibrid, dan kapal selam.
Saat ini, situs pelacakan maritim yang menggunakan citra satelit melaporkan pergerakan kapal militer Iran di dekat perbatasan laut bagian selatan.
Negara mana lagi yang paling terdampak penutupan Selat Hormuz?
Selain China, ekonomi-ekonomi besar Asia lainnya, termasuk India, Jepang, dan Korea Selatan, juga sangat bergantung pada minyak mentah yang melewati Selat Hormuz.
Penelitian lembaga kajian Vortexa mengindikasikan bahwa ekspor minyak mentah dari Arab Saudi mencapai sekitar enam juta barel per hari melalui jalur Selat Hormuz.
Jumlah ini melebihi pengiriman dari negara-negara lain di kawasan tersebut.
EIA memperkirakan bahwa pada 2022, sekitar 82% minyak mentah dan kondensat (hidrokarbon cair berkepadatan rendah yang mirip gas alam) melintasi selat menuju ke negara-negara di Asia.
Pada 16 April 2025, tiga hari sebelum rudal Israel menerjang pertahanan udara Iran, kantor berita Iran IRNA mengutip Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol yang mengatakan bahwa sebanyak 60% pasokan minyak di negaranya melalui Selat Hormuz.
EIA juga mengungkapkan AS mengimpor sekitar 700.000 barel minyak mentah dan kondensat dari selat per hari—kira-kira 11% dari keseluruhan impor minyak dan 3% dari konsumsi bensin.
Sementara itu, minyak yang diangkut ke Eropa melalui Selat Hormuz mencapai kurang dari 1 juta barel per hari.
Mengacu pada kondisi tersebut, negara-negara Arab dan Asia sepertinya akan mengalami kerugian cukup besar ketimbang AS dan Eropa apabila Selat Hormuz ditutup.
Terlebih lagi, AS dan Eropa secara politik sejalan dengan Israel dalam konflik baru-baru ini. Sedangkan, sejumlah negara Asia masih menjaga hubungan baik dengan Iran.
Rute alternatif mengatasi blokade?
Ancaman penutupan Selat Hormuz selama bertahun-tahun mendorong negara-negara pengekspor minyak di wilayah Teluk untuk mengembangkan jalur ekspor alternatif.
Berdasarkan laporan EIA, Arab Saudi telah mengaktifkan pipa Timur-Barat, jalur sepanjang 1.200 km yang mampu mengangkut hingga lima juta barel minyak mentah per hari.
Pada 2019, Arab Saudi menggunakan kembali pipa gas alam untuk mengangkut minyak mentah sementara waktu.
Uni Emirat Arab juga telah menyambungkan ladang minyaknya ke Pelabuhan Fujairah di Teluk Oman melalui pipa dengan kapasitas harian 1,5 juta barel.
Pada Juli 2021, Iran meresmikan pipa Goreh-Jask, yang dimaksudkan untuk mengalirkan minyak mentah dari Teluk Oman.
Belakangan ini, pipa-pipa ini bisa membawa 350.000 barel per hari—meski dari laporan menunjukkan Iran belum melakukannya.
EIA juga memperkirakan rute-rute alternatif ini secara kolektif dapat menampung 3,5 juta barel minyak mentah per hari—sekitar 15% dari minyak mentah yang saat ini dikirimkan melalui Selat Hormuz.