Siapa Mordechai Vanunu yang membocorkan program nuklir Israel?

25 Jun 2025 | Penerbit: radarnalar

Siapa Mordechai Vanunu yang membocorkan program nuklir Israel?

RADARNALAR.SITE, "Kami menyerang inti program persenjataan Iran," kata Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu setelah Israel melancarkan serangan pendahuluan pekan lalu, yang menyisakan sedikit keraguan mengenai tujuan Israel dalam pertikaian terbarunya dengan Iran.

Iran berkeras program nuklirnya bersifat damai, tetapi Israel telah lama menuduhnya secara diam-diam berusaha memproduksi senjata.

Sementara itu, Israel tidak membenarkan atau membantah apakah pihaknya sendiri memiliki persenjataan nuklir—kendati dunia secara luas meyakini demikian.

Keyakinan karena satu orang yang mengungkap operasi rahasia Israel untuk menjadi negara berkekuatan nuklir.

Peristiwa ini merenggut kebebasannya selama hampir dua dekade terakhir.

 

Pada bulan Oktober 1986, The Sunday Times menerbitkan sebuah artikel—yang secara luas dianggap sebagai salah satu berita terbesar jurnalisme Inggris—dengan judul Revealed: the secrets of Israel's nuclear arsenal.

Sumbernya adalah teknisi nuklir Israel Mordechai Vanunu, dan pengungkapannya mengonfirmasi kecurigaan tentang kemampuan nuklir negaranya, yang mengindikasikan program senjata lebih besar dan lebih maju daripada yang diperkirakan sebelumnya.

Dia bekerja di pusat penelitian nuklir rahasia Dimona di gurun Negev, sekitar 150 km selatan Yerusalem melalui jalan darat.

Surat kabar itu menyimpulkan, Israel telah menjadi kekuatan nuklir keenam di dunia dan memiliki sebanyak 200 hulu ledak atom.

"Kami tegang, kami kelelahan, sebagian besar orang di sana belum pernah membuat cerita sebesar ini," kata jurnalis investigasi surat kabar tersebut, Peter Hounam, kepada BBC.

Namun pada hari The Sunday Times memberitakan berita itu—5 Oktober—sumber utama mereka telah menghilang.

 

Pengkhianat atau pengungkap rahasia?

Hounam pertama kali bertemu Vanunu di Sydney, Australia, pada Agustus tahun itu, dan terkejut dengan penampilan dan perilaku pelapor tersebut.

"Ketika saya melihat Vanunu berdiri di sana—seorang pria kecil, bertubuh mungil, sedikit botak, tidak percaya diri, berpakaian sangat kasual—dia jelas tidak terlihat seperti seorang ilmuwan nuklir," kenang Hounam.

"Namun dia terdorong oleh keputusan yang diambilnya untuk memberi tahu dunia tentang apa yang dilihatnya di Dimona," tambahnya.

Pada akhir 1985, Vanunu memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya dan berkeliling Asia, karena merasa kecewa dengan perlakuan Israel terhadap Palestina dan pengembangan senjata nuklirnya.

Sebelum berhenti, ia mengambil dua rol film di pembangkit listrik tenaga nuklir, termasuk peralatan untuk mengekstraksi bahan radioaktif untuk produksi senjata dan model laboratorium perangkat termonuklir.

Itu adalah keputusan yang membawanya pertama ke London dan The Sunday Times—kemudian ke Roma dan diculik oleh dinas intelijen Israel Mossad—lalu kembali ke Israel dan menjalani hukuman penjara yang lama.

"Ia mulai menguraikan kisah yang sangat menarik tentang bagaimana ia menyelundupkan kamera tanpa film apa pun, dan kemudian pada tahap selanjutnya ia menyelundupkan film di dalam kaus kakinya dan kemudian mulai mengambil beberapa foto secara diam-diam pada larut malam dan dini hari," kata Hounam.

Editor The Sunday Times mendesak Hounam membawa Vanunu kembali ke London untuk memeriksa ceritanya lebih lanjut.

Meski takut, Vanunu setuju terbang ke Inggris. The Sunday Times menempatkannya di sebuah hotel pedesaan terpencil di luar London.

Tetapi Vanunu kemudian merasa gelisah dan dipindahkan ke hotel London, saat itulah kejadian tak terduga terjadi.

"Akhir pekan itu dia bertemu seorang perempuan saat berjalan-jalan. Dia melihatnya beberapa kali dan pergi ke bioskop bersamanya. Dan saya berkata, 'Apakah kamu yakin dengan perempuan ini'?" kenang Hounam.

Selama tinggal di London, Hounam semakin khawatir akan keselamatan Vanunu dan mulai rutin memeriksanya. Ia teringat percakapan terakhir mereka.

"Dia berkata, 'Oh, saya hanya akan pergi selama beberapa hari ke utara Inggris, saya akan baik-baik saja.' Dan saya berkata kepadanya, 'Apa pun yang Anda lakukan, teleponlah saya dua kali sehari hanya untuk memastikan saya tahu Anda aman.'"

Sebulan kemudian, pemerintah Israel mengungkapkan Vanunu telah ditahan. Ia telah menjadi korban operasi jebakan klasik dan diselundupkan—dalam keadaan tidak sadarkan diri—kembali ke Israel dengan perahu.

Saat ia diangkut dari penjara di Israel, Vanunu menulis beberapa rincian penculikannya di telapak tangannya, yang ia dekatkan ke jendela mobil van sehingga wartawan yang menunggu bisa mendapatkan informasi.

Ia mengatakan bahwa dirinya telah berteman di London dengan seorang agen Mossad kelahiran Amerika, Cheryl Bentov, yang menyamar sebagai turis.

Dia membujuknya untuk pergi berlibur ke Roma pada 30 September. Sesampainya di sana, dia diculik dan dibius.

Vanunu kemudian diadili pada Maret 1987 atas tuduhan pengkhianatan dan spionase serta dijatuhi hukuman 18 tahun penjara. Lebih dari separuh masa hukumannya dihabiskan di sel isolasi.

"Saya ingin memberi tahu dunia tentang apa yang tengah terjadi... ini bukan pengkhianatan, ini adalah upaya memberi informasi kepada dunia, tidak seperti kebijakan Israel," kata Vanunu dalam rekaman wawancara di penjara.

Dia dibebaskan pada 21 April 2004 dan sejak itu ditolak izinnya untuk meninggalkan Israel.

Sejak itu, ia telah dikembalikan ke penjara beberapa kali karena melanggar ketentuan pembebasan atau pembebasan bersyaratnya.

Sebelum dibawa pergi pada 2009, Vanunu berteriak, "Kalian tidak mendapatkan apa pun dari saya selama 18 tahun; kalian tidak akan mendapatkan apa pun dalam tiga bulan. Malu kalian, Israel."

 

Kesepakatan rahasia

Sebelum pengungkapan Vanunu, hanya sedikit yang diketahui tentang kemampuan nuklir Israel, bahkan oleh sekutu terdekatnya.

Israel diperkirakan telah memulai program nuklirnya segera setelah berdirinya negara tersebut pada 1948.

Jauh kalah jumlah dibandingkan musuh-musuhnya. Perdana Menteri pertama Israel, David Ben-Gurion, melihat pentingnya pencegah nuklir, tetapi tidak ingin membuat marah sekutu Israel dengan memperkenalkan senjata non-konvensional ke kawasan yang tidak stabil.

Jadi, Israel membuat kesepakatan rahasia dengan Prancis untuk membangun fasilitas nuklir Dimona, yang diperkirakan mulai berproduksi untuk membuat bahan baku senjata nuklir pada 1960-an.

Selama bertahun-tahun, Israel mengklaim bahwa situs itu adalah pabrik tekstil.

Inspektur AS mengunjungi lokasi tersebut beberapa kali pada 1960-an, namun dilaporkan tidak menyadari adanya fasilitas di bawah tanah karena poros lift dan pintu masuk telah ditutup bata dan diplester.

Israel saat ini diperkirakan memiliki sekitar 90 hulu ledak nuklir, menurut Pusat Pengendalian Senjata dan Non-Proliferasi.

Namun, negara itu mempertahankan kebijakan resmi yang ambigu seputar kemampuan nuklirnya, dan para pemimpin Israel telah sering mengulangi selama bertahun-tahun bahwa "Israel tidak akan menjadi negara pertama yang memperkenalkan senjata nuklir ke Timur Tengah".

Sejak 1970, sebanyak 191 negara bergabung dengan Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT)—sebuah perjanjian yang bertujuan mencegah penyebaran senjata nuklir dan mendorong pelucutan senjata.

Lima negara—AS, Rusia, Inggris, Prancis, dan Cina—diizinkan memiliki senjata karena mereka membangun dan menguji alat peledak nuklir sebelum perjanjian tersebut mulai berlaku pada 1 Januari 1967.

Israel bukan penanda tangan perjanjian tersebut.

Vanunu secara luas dianggap sebagai pengkhianat di Israel, tetapi para pendukungnya merayakan pembebasannya pada 2004, dengan menyebutnya sebagai "pahlawan perdamaian".

Dia mengatakan kepada BBC dalam wawancara pertamanya setelah dibebaskan bahwa dia "tidak menyesal".

"Apa yang saya lakukan adalah memberi tahu dunia apa yang sedang terjadi secara rahasia."

"Saya tidak datang dan berkata, kita harus menghancurkan Israel, kita harus menghancurkan Dimona."

"Saya berkata, lihat apa yang mereka miliki dan buatlah penilaian Anda."

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar