RADARNALAR.SITE – JENEWA, 16 Agustus (RadarNalar) - Kantor Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) menyatakan pada hari Jumat bahwa rencana Israel untuk membangun ribuan unit rumah baru di sebuah kawasan antara pemukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur adalah pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Rencana ini, menurut PBB, berpotensi menyebabkan pengusiran paksa terhadap warga Palestina, suatu tindakan yang dikategorikan sebagai kejahatan perang.
Dalam pernyataannya, juru bicara OHCHR mengatakan bahwa pembangunan tersebut akan memecah wilayah Palestina menjadi kantong-kantong terisolasi. “Adalah kejahatan perang bagi kekuatan pendudukan untuk memindahkan penduduk sipilnya sendiri ke wilayah yang mereka duduki,” tegas kantor HAM PBB.
Rencana Pemukiman Baru Israel
Rencana tersebut diumumkan oleh Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, seorang tokoh sayap kanan dalam pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Smotrich menyebut proyek ini sebagai langkah strategis untuk memperkuat kendali Israel di wilayah yang diperebutkan, bahkan mengatakan bahwa pembangunan itu akan “mengubur gagasan negara Palestina.”
Proyek ini mencakup ribuan unit rumah yang akan dibangun di koridor penting yang menghubungkan Yerusalem dengan bagian timur Tepi Barat. Para analis memperingatkan bahwa jika dilanjutkan, proyek tersebut akan memutus konektivitas geografis Palestina dan menghalangi kemungkinan berdirinya negara Palestina merdeka.
Dampak Kemanusiaan
Sekitar 700.000 pemukim Israel saat ini tinggal di antara 2,7 juta warga Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Bagi Palestina, pembangunan pemukiman baru ini berarti semakin berkurangnya lahan, meningkatnya risiko penggusuran, dan bertambahnya ketegangan sosial maupun kekerasan di lapangan.
Organisasi HAM internasional seperti Human Rights Watch dan Amnesty International juga mengecam langkah Israel. Mereka menegaskan bahwa perluasan pemukiman adalah bentuk apartheid teritorial, di mana warga Palestina kehilangan hak atas tanah, pergerakan, dan akses sumber daya.
Posisi Hukum Internasional
Menurut Konvensi Jenewa Keempat dan putusan Mahkamah Internasional (ICJ) 2024, aktivitas pemukiman Israel di wilayah pendudukan merupakan pelanggaran hukum internasional.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyerukan penghentian segera proyek tersebut. Ia memperingatkan bahwa pembangunan baru akan memotong Tepi Barat bagian utara dan selatan, sehingga menghalangi kemungkinan terbentuknya negara Palestina yang berdaulat, berkelanjutan, dan berdampingan secara damai dengan Israel.
Reaksi Internasional
Komunitas internasional, termasuk Uni Eropa, Mesir, dan Yordania, mengecam keras langkah Israel. Mereka mendesak agar semua pihak kembali ke meja perundingan dan menghentikan tindakan sepihak yang berisiko memperburuk konflik.
Sementara itu, pemerintah Israel tetap bersikeras bahwa wilayah tersebut adalah “tanah yang diperdebatkan”, bukan “wilayah yang diduduki”, dengan mengutip argumen historis dan keamanan. Namun, sebagian besar negara anggota PBB menolak klaim ini dan tetap menganggap pembangunan pemukiman sebagai hambatan utama bagi perdamaian.
Situasi di Lapangan
Di wilayah Tepi Barat, warga Palestina menyatakan ketakutan mereka terhadap potensi pengusiran. “Setiap pengumuman baru berarti lebih sedikit tanah untuk kami dan lebih banyak pos pemeriksaan,” kata seorang warga di Ramallah.
Protes sporadis pecah di beberapa kota Palestina, dengan bentrokan antara warga dan pasukan keamanan Israel. Pengamat memperingatkan bahwa jika proyek pemukiman terus berjalan, eskalasi kekerasan mungkin tidak terhindarkan.
Kesimpulan
Dengan meningkatnya ketegangan di kawasan, PBB menegaskan kembali bahwa solusi dua negara—Israel dan Palestina yang hidup berdampingan damai—masih menjadi satu-satunya jalan menuju perdamaian jangka panjang. Namun, pembangunan pemukiman baru Israel dinilai justru menutup peluang solusi tersebut dan memperdalam penderitaan rakyat Palestina.