Tarif Impor India Digandakan Trump, Ketegangan Dagang Meningkat

27 Aug 2025 | Penerbit: radarnalar.site

Tarif Impor India Digandakan Trump, Ketegangan Dagang Meningkat

RADARNALAR.SITEWASHINGTON/NEW DELHI, 27 Agustus 2025 – Kebijakan Presiden Donald Trump yang menggandakan tarif impor barang dari India resmi mulai berlaku hari ini. Langkah ini diperkirakan akan meningkatkan ketegangan perdagangan antara dua ekonomi besar dunia dan menimbulkan dampak signifikan bagi rantai pasok global.

Detail Kebijakan Tarif

Trump sebelumnya mengumumkan bahwa tarif atas berbagai produk asal India, mulai dari tekstil, baja, hingga produk farmasi, akan dinaikkan dua kali lipat. Pemerintah AS berdalih kebijakan ini untuk melindungi industri domestik serta menekan defisit perdagangan yang semakin melebar.

Respons dari India

Pemerintah India mengecam keras langkah tersebut, menyebutnya sebagai bentuk “proteksionisme berlebihan” yang bisa merugikan jutaan pekerja. New Delhi juga mempertimbangkan langkah balasan, termasuk menaikkan tarif terhadap sejumlah produk impor dari Amerika Serikat.

Dampak terhadap Pasar Global

Analis menilai kebijakan ini dapat memperburuk hubungan dagang AS–India sekaligus mengguncang pasar global. Pasar saham di Mumbai dan New York sempat mengalami volatilitas, sementara pelaku bisnis khawatir biaya impor yang lebih tinggi akan memicu kenaikan harga konsumen.

Kontroversi Politik di AS

Di dalam negeri, kebijakan Trump menuai pro-kontra. Sejumlah anggota Kongres AS dari Partai Republik mendukung langkah ini sebagai strategi untuk memperkuat industri Amerika, sementara kalangan Demokrat menilai kebijakan tersebut bisa memperburuk hubungan dengan sekutu strategis di Asia.

Analisis Pengamat

Pengamat perdagangan internasional memperingatkan bahwa kebijakan tarif ganda ini dapat memicu perang dagang baru yang tidak hanya merugikan India, tetapi juga mempersempit ruang diplomasi bagi Amerika Serikat di Asia Selatan. “Trump sedang bermain keras, tapi dampaknya bisa berbalik merugikan AS sendiri,” ujar seorang analis ekonomi di Washington.


Komentar