RADARNALAR.SITE – WASHINGTON, 1 September 2025 – Mantan Presiden Donald Trump menegaskan bahwa ia akan mengeluarkan perintah eksekutif untuk mewajibkan identitas pemilih (Voter ID) dalam setiap pemungutan suara di Amerika Serikat. Janji tersebut disampaikan dalam pidato kampanye di Florida, sebagai bagian dari rencana besarnya untuk "mengamankan pemilu."
Voter ID sebagai Isu Politik Utama
Trump berulang kali menuduh adanya potensi kecurangan pemilu, meskipun studi dari Brennan Center for Justice menunjukkan kasus penipuan pemilih di AS sangat jarang terjadi. Perdebatan seputar Voter ID laws selama ini menjadi salah satu isu politik paling panas di Amerika.
Reaksi dari Partai Republik
Para pejabat Partai Republik mendukung rencana tersebut, menyebutnya sebagai langkah krusial untuk menjaga kepercayaan publik. Mereka menekankan perlunya dokumen resmi seperti SIM atau paspor untuk memastikan hanya warga sah yang memberikan suara.
Kritik dari Partai Demokrat
Namun, Partai Demokrat menilai kebijakan ini justru akan membatasi hak pilih, khususnya bagi minoritas, lansia, dan kelompok berpenghasilan rendah. Ketua DPR Demokrat menyebut kebijakan Trump sebagai bentuk "penindasan pemilih" yang bertentangan dengan Voting Rights Act.
Respons dari Organisasi Sipil
Kelompok advokasi seperti American Civil Liberties Union (ACLU) dan League of Women Voters menegaskan bahwa mereka siap menggugat aturan ini di pengadilan. Mereka menekankan bahwa hak memilih adalah pilar demokrasi yang tidak boleh dipersulit.
Analisis Hukum dan Konstitusi
Pakar dari Harvard Law School menilai perintah eksekutif semacam ini bisa menimbulkan kontroversi hukum, mengingat pengelolaan pemilu diatur oleh masing-masing negara bagian sesuai Konstitusi Amerika Serikat.
Implikasi terhadap Pemilu 2026
Jika diterapkan, kebijakan ini berpotensi memengaruhi pemilu paruh waktu 2026 dan pemilu presiden 2028. Analis memperkirakan aturan tersebut bisa meningkatkan partisipasi basis konservatif, namun menurunkan jumlah pemilih dari komunitas urban dan minoritas.
Reaksi Publik dan Media
Laporan dari CNN, Fox News, dan Reuters menyoroti perpecahan opini publik. Sebagian besar pendukung Trump menganggapnya perlu untuk keamanan pemilu, sementara oposisi menilainya sebagai upaya melemahkan demokrasi.